Yang
dilupakan oleh para capres/cawapres beserta pendukungnya adalah
persoalan netralitas KPU (Komisi Pemilihan Umum) sbg penyelenggara
pemilu.
Bukan berarti saya menuduh KPU tdk netral, tp ada
aturan yang dibuat oleh KPU, dimana dalam PKPU (peraturan KPU)
disebutkan bahwa formulir C1 (perhitungan suara utk saksi) yg
berhologram wajib diberikan pada saksi, pada saat perhitungan ditingkat
kelurahan (bukan ditingkat TPS).
PKPU ini membuka peluang terjadinya kecurangan, sama seperti pada kasus
pemilihan umum legislatif kemaren. Dimana para saksi, para caleg,
bahkan ketua partai peserta pemilu kesulitan mendapatkan form C1. Rata2
yg diberikan pd saksi adl form C1 yg tdk berhologram, atau bahkan sama
sekali tdk mendapat form C1 ini, dg alasan silahkan tandatangan C1 &
hasilnya dicatat/difoto.difotocopy saja. Karena kewajiban KPU harus
memberikan C1 berhologram hanya pd perhitungan tingkat kelurahan, bukan
pd perhitungan suara tingkat TPS
Padahal yg bisa jadi alat
bukti yg sah, hanyalah form C1 yg berhologram. Meski apa yg dicatat
sesuai dg form C1 berhologram, atau bahkan form C1 berhologram utk saksi
yg memuat hasil perhitungan suara itu difoto/difotocopy, itu bukan
merupakan alat bukti yg sah.
Kenapa ini harus dipikirkan?
karena pada pemlihan umum legislatif kemaren, banyak C1 berhologram yg
ternyata hasil perhitungan suara tdk sesuai/tdk sama dg
catatan/fotocopy/foto C1 yg dimiliki para saksi. Bahkan banyak form C1
yg berisi angka hasil tip-ex, coretan dll. meski demikian yg dianggap
sah hanyalah form C1 yg berhologram, yg dikuasai KPU, dan baru diberikan
pd saksi pd perhitungan ditingkat kelurahan. Bahkan sampai perhitungan
kecamatan saja, krn situasi seperti itu, partai/peserta pemilu kesulitan
mendapat form C1 yg berhologram.
Akibatnya, saat ada
rekomendasi dr panwaslu utk menghitung ulang (bukan rekapitulasi ulang) 1
TPS dr 5000 TPS yg ada pd suatu kota, dimana hitung ulang dg membuka
kotak suara ditemukan adanya kecurangan, yakni ada sebuah partai yg
tetulis mendapat 50 suara, tp saat dibuka kotak suara & dihitung
ulang, partai tersebut ternyata tdk ada yg mencoblos sama sekali, alias
dapat 0 suara.
itu bari 1 TPS yang ketahuan, sayangnya
perhitungan ulang tidak dilakukan di 5000 TPS di kota itu, KPU beralasan
bhw rekomendasi panwaslu hanyalah utk 1 TPS. Padahal utk mendapatkan
rekomendasi dr panwaslu, itu adalah hal yg sangat sulit.
Jika
hanya rekapitulasi ulang (bukan penghitungan ulang dg membuka kotak
suara utk mencocokkan), yg dihitung ulang hanyalah apa yg ditulis di
form C1, D1 dst, yg form itu hanya KPU yg memegang & menguasai,
masyarakat tidak tahu, apakah yg tercantum pd form itu sama atau tidak
sama dengan surat suara yg dicoblos & dimasukkan pd kotak suara.
Berdasar contoh yg terjadi di kota itu (dan juga ditempat2 lain. Bahkan
diberitakan media massa, ada penyelenggara pemilu yg membawa lari kotak
suara & kotak suara banyak yg hilang, bahkan ada yg dibakar, tp
pemilu jalan terus krn yg dihitung cuma berdasar form C1), pd pemilu
legislatif kemaren banyak tuduhan terjadi kecurangan dll, akan tetapi
kenapa gugatan di MK (mahkamah konstitusi) sangat sedikit? karena utk
bisa dilakukan sidang di MK, selain waktu pendaftaran gugatan sangat
mepet, juga harus dilengkapi form C1 yg berhologram, dan ternyata form
C1 yg berhologram itu sampai selesainya pemilu sangat sulit didapat,
ataupun jika didapat, meski berisi banyak coretan & tip-ex, tetap
dianggap sbg alat bukti yg sah, dibanding alat bukti yg lain.
Untuk itu, pada para pendukung prabowo-hatta & jokowi- jusuf kalla,
sebaiknya PKPU itu digugat ke MK & diganti, bahwa form C1 harus
sudah diberikan pd saksi ditingkat TPS. Sebab perjalanan perhitungan
suara dr TPS ke kelurahan, dikota besar spt surabaya saja membutuhkan
waktu lebih dr 3 hari, apalagi didaerah yg lebih terpencil. Apa saja
bisa berubah pada saat itu.
Kenapa demikian, saya yg kebetulan
temani relasi habis bepergian & antar kehotel, iseng2 nonton
rekapitulasi suara yg dilakukan KPU di tingkat propinsi disebuah hotel
di Surabaya, yg kebetulan jd tempat menginap relasi, sampai ketawa
terbahak2, krn ada sebuah kabupaten yg jk dilihat, tiap TPS dikabupaten
itu, jumlah suara utk partai & calon tertentu angkanya sama persis
(saya masih ingat, partai & calon itu disemua TPS mendapat suara 84,
sedangkan dikabupaten sebelahnya calon & partai itu di tiap2 TPS
mendapat suara sama persis 63), dan hal itu cuma jd protes, tp
perhitungan jalan terus, jika mau gugat silahkan ke MK, tp utk gugat ke
MK syaratnya ya itu tadi, sangat sulit ... hehehehe
Maka
menurut saya, sebaiknya hal tersebut digugat saat ini ke MK, agar
formulir C1 dll hak para saksi sudah bisa dipegang saat perhitungan di
TPS. Jika tidak tentunya terbuka peluang terjadinya kecurangan dalam
perhitungan suara, dan isu kecurangan ini krn sistem yg dibuat KPU,
berpotensi menimbulkan ketegangan.
Jadi menurut saya, PKPU ini
merupakan salah satu celah yg membuka terjadinya kecurangan, dimana
membuka ruang terjadinya upaya utk mengajak/memerintahkan KPU utk tdk
netral, seperti kasus2 pencurian suara, pengaturan suara dll. Karena apa
yg ada dikotak suara, belum tentu sama dengan apa yg ditulis dalam form
hasil pemilu.
Karena jika tidak diatur dg jelas, maka siapapun
bisa dituduh melakukan kecurangan, dan tuduhan2 bisa berkembang menjadi
ketegangan. Maka pertanyaannya, kenapa KPU membuat PKPU yg berpeluang
menimbulkan terjadinya kecurangan & menimbulkan ketegangan antar
kandidat? dan kenapa para peserta pemilu & masyarakat tidak jeli
pada peraturan2 yg dibuat oleh KPU?
Kita berharap kecurangan
& ketegangan tidak akan terjadi, tp dengan aturan2 yg dibuat sepihak
oleh KPU ini, tampaknya membuka peluang terjadinya hal tersebut. Jadi
kalau ada pemilu ricuh, ini adalah tanggungjawab KPU yg mebuat aturan yg
membuka peluang agar pihak2 peserta pemilu bisa bekerjasama dg KPU utk
melakukan kecurangan..
Bagaimana tim prabowo, jokowi dan juga
masyarakat Indonesia? anda akan membiarkan hal ini terus berlangsung?
dan membiarkan anda semua diadu-domba oleh sistem yg dibuat KPU?
Kita tidak ingin hasil pemilu menimbulkan kericuhan dan berakibat pihak
ke-3 membuat keruh bangsa ini dan mencerai-beraikannya bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar