dua calon presiden menurutku sama2 orang & calon yg baik
fitnah bhw jokowi hanya pencitraan, antek amerika, capres boneka, tdk amanah dll yg disebar2kan itu adalah tdk benar,
dmkn pula fitnah bhw prabowo itu kejam, tukang culik dll yg disebar2kan itu juga tdk benar
ada alasan yg mungkin akan terlalu panjang jika dikemukakan.. tp yg
jelas, sobat2 se kantor di jakarta semasa 1990an - 2000an, skr ada yg jd tim inti prabowo & ada juga yg jd tim inti jokowi
demikian juga sobat sekantor jakarta saat ini, ada yg jd suporter prabowo seperti kamerad Hardian Saja aktivis partai PKS dll, juga ada yg jd suporter jokowi seperti sahabat Bejo Raharjo dll
Jadi sebenarnya buat apa ribut2 yg ujung2nya mengolok2 bangsa sendiri?
Jk menurut anda kedua capres ini sama2 baik, pilihlah yg terbaik
diantara yg baik2. sedangkan jk menurut anda kedua capres ini sama2
buruk, pilihlah yg terbaik diantara yg buruk2.
Tanpa perlu
menjelek2kan calon yg lain, aplg memberi cap jelek, agar orang membenci
calon tersebut. Karena itu hanya akan menimbulkan luka, dan akan membuat
calon yg terpilih sejak awal sudah tidak disukai oleh sebagian
masyarakat Indonesia.
Sebab jika sebagian rakyat sudah apriori
pada salah satu calon, dan kemudian calon itu terpilih, maka bisa jadi
sebaik apapun program & kegiatan dr orang tersebut, maka akan dapat
cibiran, serangan & hantaman, ganjalan dll dr sebagian masyarakat.
Ini bisa jadi mengakibatkan program, kegiatan dll yg sebenarnya cukup
bagus, bisa jadi tidak bisa berjalan dg baik.
Karena bisa
seperti syair lagunya alm gombloh, jika cinta sudah melekat - tai kucing
terasa coklat, tapi jika benci sudah merapat - meski coklat akan terasa
seperti tai kucing
Tantangan lebih besar & lebih berat menunggu didepan RI, buat apa mengganjal perjalanan bangsa sendiri?
Senin, 09 Juni 2014
KPU Dewa-nya Pemilu - Siapa Bilang Pemilu itu Suara Rakyat ?
Yang
dilupakan oleh para capres/cawapres beserta pendukungnya adalah
persoalan netralitas KPU (Komisi Pemilihan Umum) sbg penyelenggara
pemilu.
Bukan berarti saya menuduh KPU tdk netral, tp ada aturan yang dibuat oleh KPU, dimana dalam PKPU (peraturan KPU) disebutkan bahwa formulir C1 (perhitungan suara utk saksi) yg berhologram wajib diberikan pada saksi, pada saat perhitungan ditingkat kelurahan (bukan ditingkat TPS).
PKPU ini membuka peluang terjadinya kecurangan, sama seperti pada kasus pemilihan umum legislatif kemaren. Dimana para saksi, para caleg, bahkan ketua partai peserta pemilu kesulitan mendapatkan form C1. Rata2 yg diberikan pd saksi adl form C1 yg tdk berhologram, atau bahkan sama sekali tdk mendapat form C1 ini, dg alasan silahkan tandatangan C1 & hasilnya dicatat/difoto.difotocopy saja. Karena kewajiban KPU harus memberikan C1 berhologram hanya pd perhitungan tingkat kelurahan, bukan pd perhitungan suara tingkat TPS
Padahal yg bisa jadi alat bukti yg sah, hanyalah form C1 yg berhologram. Meski apa yg dicatat sesuai dg form C1 berhologram, atau bahkan form C1 berhologram utk saksi yg memuat hasil perhitungan suara itu difoto/difotocopy, itu bukan merupakan alat bukti yg sah.
Kenapa ini harus dipikirkan? karena pada pemlihan umum legislatif kemaren, banyak C1 berhologram yg ternyata hasil perhitungan suara tdk sesuai/tdk sama dg catatan/fotocopy/foto C1 yg dimiliki para saksi. Bahkan banyak form C1 yg berisi angka hasil tip-ex, coretan dll. meski demikian yg dianggap sah hanyalah form C1 yg berhologram, yg dikuasai KPU, dan baru diberikan pd saksi pd perhitungan ditingkat kelurahan. Bahkan sampai perhitungan kecamatan saja, krn situasi seperti itu, partai/peserta pemilu kesulitan mendapat form C1 yg berhologram.
Akibatnya, saat ada rekomendasi dr panwaslu utk menghitung ulang (bukan rekapitulasi ulang) 1 TPS dr 5000 TPS yg ada pd suatu kota, dimana hitung ulang dg membuka kotak suara ditemukan adanya kecurangan, yakni ada sebuah partai yg tetulis mendapat 50 suara, tp saat dibuka kotak suara & dihitung ulang, partai tersebut ternyata tdk ada yg mencoblos sama sekali, alias dapat 0 suara.
itu bari 1 TPS yang ketahuan, sayangnya perhitungan ulang tidak dilakukan di 5000 TPS di kota itu, KPU beralasan bhw rekomendasi panwaslu hanyalah utk 1 TPS. Padahal utk mendapatkan rekomendasi dr panwaslu, itu adalah hal yg sangat sulit.
Jika hanya rekapitulasi ulang (bukan penghitungan ulang dg membuka kotak suara utk mencocokkan), yg dihitung ulang hanyalah apa yg ditulis di form C1, D1 dst, yg form itu hanya KPU yg memegang & menguasai, masyarakat tidak tahu, apakah yg tercantum pd form itu sama atau tidak sama dengan surat suara yg dicoblos & dimasukkan pd kotak suara.
Berdasar contoh yg terjadi di kota itu (dan juga ditempat2 lain. Bahkan diberitakan media massa, ada penyelenggara pemilu yg membawa lari kotak suara & kotak suara banyak yg hilang, bahkan ada yg dibakar, tp pemilu jalan terus krn yg dihitung cuma berdasar form C1), pd pemilu legislatif kemaren banyak tuduhan terjadi kecurangan dll, akan tetapi kenapa gugatan di MK (mahkamah konstitusi) sangat sedikit? karena utk bisa dilakukan sidang di MK, selain waktu pendaftaran gugatan sangat mepet, juga harus dilengkapi form C1 yg berhologram, dan ternyata form C1 yg berhologram itu sampai selesainya pemilu sangat sulit didapat, ataupun jika didapat, meski berisi banyak coretan & tip-ex, tetap dianggap sbg alat bukti yg sah, dibanding alat bukti yg lain.
Untuk itu, pada para pendukung prabowo-hatta & jokowi- jusuf kalla, sebaiknya PKPU itu digugat ke MK & diganti, bahwa form C1 harus sudah diberikan pd saksi ditingkat TPS. Sebab perjalanan perhitungan suara dr TPS ke kelurahan, dikota besar spt surabaya saja membutuhkan waktu lebih dr 3 hari, apalagi didaerah yg lebih terpencil. Apa saja bisa berubah pada saat itu.
Kenapa demikian, saya yg kebetulan temani relasi habis bepergian & antar kehotel, iseng2 nonton rekapitulasi suara yg dilakukan KPU di tingkat propinsi disebuah hotel di Surabaya, yg kebetulan jd tempat menginap relasi, sampai ketawa terbahak2, krn ada sebuah kabupaten yg jk dilihat, tiap TPS dikabupaten itu, jumlah suara utk partai & calon tertentu angkanya sama persis (saya masih ingat, partai & calon itu disemua TPS mendapat suara 84, sedangkan dikabupaten sebelahnya calon & partai itu di tiap2 TPS mendapat suara sama persis 63), dan hal itu cuma jd protes, tp perhitungan jalan terus, jika mau gugat silahkan ke MK, tp utk gugat ke MK syaratnya ya itu tadi, sangat sulit ... hehehehe
Maka menurut saya, sebaiknya hal tersebut digugat saat ini ke MK, agar formulir C1 dll hak para saksi sudah bisa dipegang saat perhitungan di TPS. Jika tidak tentunya terbuka peluang terjadinya kecurangan dalam perhitungan suara, dan isu kecurangan ini krn sistem yg dibuat KPU, berpotensi menimbulkan ketegangan.
Jadi menurut saya, PKPU ini merupakan salah satu celah yg membuka terjadinya kecurangan, dimana membuka ruang terjadinya upaya utk mengajak/memerintahkan KPU utk tdk netral, seperti kasus2 pencurian suara, pengaturan suara dll. Karena apa yg ada dikotak suara, belum tentu sama dengan apa yg ditulis dalam form hasil pemilu.
Karena jika tidak diatur dg jelas, maka siapapun bisa dituduh melakukan kecurangan, dan tuduhan2 bisa berkembang menjadi ketegangan. Maka pertanyaannya, kenapa KPU membuat PKPU yg berpeluang menimbulkan terjadinya kecurangan & menimbulkan ketegangan antar kandidat? dan kenapa para peserta pemilu & masyarakat tidak jeli pada peraturan2 yg dibuat oleh KPU?
Kita berharap kecurangan & ketegangan tidak akan terjadi, tp dengan aturan2 yg dibuat sepihak oleh KPU ini, tampaknya membuka peluang terjadinya hal tersebut. Jadi kalau ada pemilu ricuh, ini adalah tanggungjawab KPU yg mebuat aturan yg membuka peluang agar pihak2 peserta pemilu bisa bekerjasama dg KPU utk melakukan kecurangan..
Bagaimana tim prabowo, jokowi dan juga masyarakat Indonesia? anda akan membiarkan hal ini terus berlangsung? dan membiarkan anda semua diadu-domba oleh sistem yg dibuat KPU?
Kita tidak ingin hasil pemilu menimbulkan kericuhan dan berakibat pihak ke-3 membuat keruh bangsa ini dan mencerai-beraikannya bukan?
Bukan berarti saya menuduh KPU tdk netral, tp ada aturan yang dibuat oleh KPU, dimana dalam PKPU (peraturan KPU) disebutkan bahwa formulir C1 (perhitungan suara utk saksi) yg berhologram wajib diberikan pada saksi, pada saat perhitungan ditingkat kelurahan (bukan ditingkat TPS).
PKPU ini membuka peluang terjadinya kecurangan, sama seperti pada kasus pemilihan umum legislatif kemaren. Dimana para saksi, para caleg, bahkan ketua partai peserta pemilu kesulitan mendapatkan form C1. Rata2 yg diberikan pd saksi adl form C1 yg tdk berhologram, atau bahkan sama sekali tdk mendapat form C1 ini, dg alasan silahkan tandatangan C1 & hasilnya dicatat/difoto.difotocopy saja. Karena kewajiban KPU harus memberikan C1 berhologram hanya pd perhitungan tingkat kelurahan, bukan pd perhitungan suara tingkat TPS
Padahal yg bisa jadi alat bukti yg sah, hanyalah form C1 yg berhologram. Meski apa yg dicatat sesuai dg form C1 berhologram, atau bahkan form C1 berhologram utk saksi yg memuat hasil perhitungan suara itu difoto/difotocopy, itu bukan merupakan alat bukti yg sah.
Kenapa ini harus dipikirkan? karena pada pemlihan umum legislatif kemaren, banyak C1 berhologram yg ternyata hasil perhitungan suara tdk sesuai/tdk sama dg catatan/fotocopy/foto C1 yg dimiliki para saksi. Bahkan banyak form C1 yg berisi angka hasil tip-ex, coretan dll. meski demikian yg dianggap sah hanyalah form C1 yg berhologram, yg dikuasai KPU, dan baru diberikan pd saksi pd perhitungan ditingkat kelurahan. Bahkan sampai perhitungan kecamatan saja, krn situasi seperti itu, partai/peserta pemilu kesulitan mendapat form C1 yg berhologram.
Akibatnya, saat ada rekomendasi dr panwaslu utk menghitung ulang (bukan rekapitulasi ulang) 1 TPS dr 5000 TPS yg ada pd suatu kota, dimana hitung ulang dg membuka kotak suara ditemukan adanya kecurangan, yakni ada sebuah partai yg tetulis mendapat 50 suara, tp saat dibuka kotak suara & dihitung ulang, partai tersebut ternyata tdk ada yg mencoblos sama sekali, alias dapat 0 suara.
itu bari 1 TPS yang ketahuan, sayangnya perhitungan ulang tidak dilakukan di 5000 TPS di kota itu, KPU beralasan bhw rekomendasi panwaslu hanyalah utk 1 TPS. Padahal utk mendapatkan rekomendasi dr panwaslu, itu adalah hal yg sangat sulit.
Jika hanya rekapitulasi ulang (bukan penghitungan ulang dg membuka kotak suara utk mencocokkan), yg dihitung ulang hanyalah apa yg ditulis di form C1, D1 dst, yg form itu hanya KPU yg memegang & menguasai, masyarakat tidak tahu, apakah yg tercantum pd form itu sama atau tidak sama dengan surat suara yg dicoblos & dimasukkan pd kotak suara.
Berdasar contoh yg terjadi di kota itu (dan juga ditempat2 lain. Bahkan diberitakan media massa, ada penyelenggara pemilu yg membawa lari kotak suara & kotak suara banyak yg hilang, bahkan ada yg dibakar, tp pemilu jalan terus krn yg dihitung cuma berdasar form C1), pd pemilu legislatif kemaren banyak tuduhan terjadi kecurangan dll, akan tetapi kenapa gugatan di MK (mahkamah konstitusi) sangat sedikit? karena utk bisa dilakukan sidang di MK, selain waktu pendaftaran gugatan sangat mepet, juga harus dilengkapi form C1 yg berhologram, dan ternyata form C1 yg berhologram itu sampai selesainya pemilu sangat sulit didapat, ataupun jika didapat, meski berisi banyak coretan & tip-ex, tetap dianggap sbg alat bukti yg sah, dibanding alat bukti yg lain.
Untuk itu, pada para pendukung prabowo-hatta & jokowi- jusuf kalla, sebaiknya PKPU itu digugat ke MK & diganti, bahwa form C1 harus sudah diberikan pd saksi ditingkat TPS. Sebab perjalanan perhitungan suara dr TPS ke kelurahan, dikota besar spt surabaya saja membutuhkan waktu lebih dr 3 hari, apalagi didaerah yg lebih terpencil. Apa saja bisa berubah pada saat itu.
Kenapa demikian, saya yg kebetulan temani relasi habis bepergian & antar kehotel, iseng2 nonton rekapitulasi suara yg dilakukan KPU di tingkat propinsi disebuah hotel di Surabaya, yg kebetulan jd tempat menginap relasi, sampai ketawa terbahak2, krn ada sebuah kabupaten yg jk dilihat, tiap TPS dikabupaten itu, jumlah suara utk partai & calon tertentu angkanya sama persis (saya masih ingat, partai & calon itu disemua TPS mendapat suara 84, sedangkan dikabupaten sebelahnya calon & partai itu di tiap2 TPS mendapat suara sama persis 63), dan hal itu cuma jd protes, tp perhitungan jalan terus, jika mau gugat silahkan ke MK, tp utk gugat ke MK syaratnya ya itu tadi, sangat sulit ... hehehehe
Maka menurut saya, sebaiknya hal tersebut digugat saat ini ke MK, agar formulir C1 dll hak para saksi sudah bisa dipegang saat perhitungan di TPS. Jika tidak tentunya terbuka peluang terjadinya kecurangan dalam perhitungan suara, dan isu kecurangan ini krn sistem yg dibuat KPU, berpotensi menimbulkan ketegangan.
Jadi menurut saya, PKPU ini merupakan salah satu celah yg membuka terjadinya kecurangan, dimana membuka ruang terjadinya upaya utk mengajak/memerintahkan KPU utk tdk netral, seperti kasus2 pencurian suara, pengaturan suara dll. Karena apa yg ada dikotak suara, belum tentu sama dengan apa yg ditulis dalam form hasil pemilu.
Karena jika tidak diatur dg jelas, maka siapapun bisa dituduh melakukan kecurangan, dan tuduhan2 bisa berkembang menjadi ketegangan. Maka pertanyaannya, kenapa KPU membuat PKPU yg berpeluang menimbulkan terjadinya kecurangan & menimbulkan ketegangan antar kandidat? dan kenapa para peserta pemilu & masyarakat tidak jeli pada peraturan2 yg dibuat oleh KPU?
Kita berharap kecurangan & ketegangan tidak akan terjadi, tp dengan aturan2 yg dibuat sepihak oleh KPU ini, tampaknya membuka peluang terjadinya hal tersebut. Jadi kalau ada pemilu ricuh, ini adalah tanggungjawab KPU yg mebuat aturan yg membuka peluang agar pihak2 peserta pemilu bisa bekerjasama dg KPU utk melakukan kecurangan..
Bagaimana tim prabowo, jokowi dan juga masyarakat Indonesia? anda akan membiarkan hal ini terus berlangsung? dan membiarkan anda semua diadu-domba oleh sistem yg dibuat KPU?
Kita tidak ingin hasil pemilu menimbulkan kericuhan dan berakibat pihak ke-3 membuat keruh bangsa ini dan mencerai-beraikannya bukan?
Langganan:
Postingan (Atom)